Kamis, 21 Maret 2019

NU VS HTI

PILPRES 2019, PERTARUNGAN NU vs HTI

"Saya tidak khawatir dengan yang namanya FPI. Saya jauh lebih khawatir dengan ideologi transnasional yang sedang berkembang di negeri ini.."

Begitu ungkapan salah seorang pentolan aparat Kepolisian saat bertemu dengan almarhum KH Hasyim Muzadi. Pada waktu itu tahun 2003, dan pihak aparat masih belum paham apa yang disebut ideologi transnasional itu.

Semakin lama akhirnya selubung terbuka, ada kelompok yang jauh lebih berbahaya dari sekadar ormas preman yang selalu bikin ricuh suasana, yaitu organisasi yang mempunyai agenda besar untuk mewujudkan negara Islam dengan cara menghancurkan negara.

Organisasi ini dipenuhi kaum intelektual, menguasai jaringan dunia pendidikan dan melahirkan kader-kader militan yang ditempatkan di berbagai elemen pemerintahan.

Organisasi ini bernama Hizbut Thahrir Indonesia atau HTI.

HTI ini canggih. Ibarat virus, mereka virus yang berkembang sesuai masa. Ketika berada pada masa teknologi, mereka beradaptasi dan memanfaatkannya sebagai senjata. Mereka paham pepatah yang mengatakan bahwa "siapa yang menguasai informasi, dia akan menguasai dunia".

Dan dari gerakan senyap tanpa banyak yang orang sadari, ideologi HTI membius banyak orang melalui baju agama, dengan memanfaatkan media online dan sosial, memanfaatkan jaringan televisi dan artis-artis dalam konsep hijrah untuk menarik kader muda.

Pada puncaknya, mereka yang terkena virus ini, akan menganggap bahwa "negara Islam" versi HTI adalah sebuah tingkat keyakinan tertinggi dalam ibadah kepada Tuhan, sehingga orang tidak bisa menolak dan rela menyumbangkan darah dan harta mereka demi tegaknya cita-cita negara khilafah.

Inilah alarm dari almarhum KH Hasyim Muzadi kepada aparat Indonesia yang baru disadari beberapa tahun kemudian.

Sesudah peristiwa Arab Spring yang memecah Timur Tengah, barulah kewaspadaan terhadap gerakan ideologis ini berjalan. Aparat kepolisian dan Nahdlatul Ulama membuat perencanaan khusus bagaimana bisa memotong leher ular ini ditengah jalan.

Kesempatan terbaik ada di pemerintahan Jokowi. Rekam jejak Jokowi sebagai pemimpin yang moderat dan tidak memberi ruang bagi kelompok fundamental berkembang, menjadi catatan bagus untuk memulai gerakan membasmi ular berbisa bernama HTI ini.

Dan puncaknya pada Mei 2017, Wiranto mengumumkan pembubaran HTI, sebuah langkah berani karena ini berarti membangunkan sang ular yang selama ini mengira dirinya sudah menguasai medan. Langkah berani pemerintah ini tentu atas dukungan dan masukan Nahdlatul Ulama yang sudah sejak lama memantau gerakan ideologi transnasional yang berbahaya ini.

Perjalanan NU mulai mengetahui, mencium keberadaan sampai membubarkan virus HTI itu adalah perjalanan panjang dengan segala resiko ditangan. Bahkan Banser NU menyediakan diri menjadi bemper di depan untuk melindungi satu wilayah terinfeksi virus yang lebih besar.

Itulah kenapa akhir-akhir ini NU banyak dihujat dan difitnah. Karena ketika HTI besar kembali, NU lah yang pertama kali akan mereka hancurkan dengan segala cara.

Dari rekam jejak ini, kita bisa mengetahui kemana arah politik Nahdlatul Ulama.

NU memang sudah tidak berpolitik praktis sejak munas tahun 1983 di Situbondo Jawa Timur. NU lebih mengedepankan politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah) atau politik kebangsaan dan politik kerakyatan.

Bagi NU mengawal agenda menjaga kebangsaan dan negara ini adalah dengan menghadang wujudnya kembali HTI dalam bentuk berbeda dengan menunggangi partai politik. Itulah kenapa NU merapat ke Jokowi, bukan karena mereka berpolitik, tetapi mengawal agenda besar mereka menjaga NKRI.

Jadi saya agak heran ketika ada orang yang mengaku warga NU bicara bahwa dia tidak memilih Jokowi. Dia sungguh tidak paham, bahwa dimana HTI berada, NU akan berdiri menghadangnya.

Mari kita dukung Nahdlatul Ulama. Karena Pilpres 2019 ini bukan tentang siapa Presidennya, tetapi perang ideologi antara NKRI dan mereka yang ingin menjadikan negeri khilafah.

Anda ada dibarisan mana ?

Seruput kopinya..

Denny Siregar